Terlepas dari kata pemaafan,
kamu anak yang kuat
Sungguh,
Kepingan-kepingan mana lagi yang kamu susun hingga serapih itu...
Pecahan-pecahan serpihan kaca mana lagi, partikel terkecilnya melukai dirimu...
Terlihat damai,
Ketika pencapaian tertinggimu diretak dengan serpihan kerta, di atas puzzle yang kamu susun dengan rapi
Lantas...
Nuansa kertas bening dengan cover bersih itu lagi dan lagi...
Dan kamu meratap,
Pisau mana lagi yang dikatakan abadi,
Pisau mana lagi yang takkan pernah mengirisin lukamu yang belum sembuh itu?
Mungkinkah?
Kata maaf sudah kamu ucapakan?
Tentu,
Takdir memiliki sosok warna yang sama,
Kamu mempercayainya dengan hati, bukan logika...
Tetapi sayang...
Dinda...
Teman sepertinyapun,
menanyakan kabar kepadamu saja, tak sudih buat memberikan luang hatimu untuk berbicara...
Dengan begitu, dirimu juga yang dianggap pemantiknya...
Duhai Dinda..
Sedingin apa lagi kamu melindungi dirimu tanpa mencairkannya,
Kamu tutupi dengan apa lagi, hingga anak tangganya tersusun dengan rapi?
Mudahnya dirimu mengulurkan tangan,
lalu ia sayapkan kembali pisau-pisau itu di tangan yang kau ulur...
Tetapi dengan mudahnya,
Ia berkata:
dirimu menodai pisau itu, hingga ia membersihkannya dengan air mengalir begitu derasnya..
Tetapi,
Orang yang tak mempercayainya
berkata: dirimulah yang bermain dengan pisau itu...
Lalu kau sembuhkan kembali, tanpa berteriak dengan berisik,
Mentulikan pendengaran, membutakan penglihatan
Itu jalan mu untuk tetap memaafkan...
Caranya...
Seterusnya...
Hingga Menepi, Pondasikan yang singgah dengan kokohnya dirimu kala itu.
Luka~
-0.38-
Komentar
Posting Komentar